Permata Bahagia


marhaban2u.com
Showing posts with label Tokoh Islam. Show all posts
Showing posts with label Tokoh Islam. Show all posts

Tuesday, January 18, 2011

Asma' binti Abu Bakar

Asma binti Abu Bakar, turut dikenali sebagai wanita besi yang berumur panjang. Nama wanita ini pendek sahaja, tetapi, perjalanan hidupnya tidak pendek seperti namanya. Allah memberinya umur panjang dan kecerdasan berfikir, hingga dia dapat mewarnai perjalanan hidup generasi tabiin (pengikut Rasulullah) dengan perjalanan kehidupan pada zaman Rasulullah.

Asma’, termasuk kelompok wanita yang pertama masuk Islam. Permulaan Asma’ tidak boleh dipisahkan dengan peristiwa hijrah Rasulullah dan ayahnya Abu Bakar.

Dialah yang mengirimkan bekalan makanan dan minuman kepada mereka. Lantaran peristiwa inilah, Asma’ digelar sebagai “dzatun nithaqain” yang membawa maksud wanita yang mempunyai dua ikat pinggang.

Gelaran ini diberikan ketika Asma’ hendak mengikat karung makanan dan tempat minuman yang akan dikirim kepada Rasulullah dan Abu Bakar. Pada waktu itu, Asma’ tidak memiliki tali untuk mengikatnya, maka dia memotong ikat pinggangnya menjadi dua,satu untuk mengikat karung makanan dan satu lagi untuk mengikat tempat air minum. Ketika Rasulullah mengetahui hal ini, baginda berdoa semoga Allah akan menggantikan ikat piinggang Asma’ dengan dua ikat pinggang yang lebih baik dan indah di syurga.

Asma’ berkahwin dengan Zubir bin Awwam, seorang pemuda dari golongan biasa yang tidak memiliki harta, kecuali seekor kuda. Namun demikian, Asma’ tidak kecewa. Dia tetap setia melayan suaminya. Sekiranya suaminya sibuk menyebarkan tugas daripada Rasulullah, Asma’ tidak segan merawat dan menumbuk biji kurma untuk makanan kuda suaminya. Hasil perkahwinannya, Allah menganugerahi mereka seorang anak yang cerdas yang diberi nama Abdullah bin Zubir.

Asma’ memiliki beberapa sifat istimewa. Selain cantik, dia mempunyai sifat yang hampir sama dengan dengan saudaranya Aisyah, cerdas, pantas dan lincah. Sifatnya yang pemurah menjadi teladan kepada ramai orang.

Waktu terus berlalu, anaknya Abdullah bin Zubir diangkat menjadi Khalifah menggantikan Yazid bin Mu’awwiyah yang wafat. Bani Umaiyah tidak rela dengan kepemimpinan Abdullah bin Zubir. Mereka menyiapkan tentera yang besar dalam pimpinan Panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi untuk menggulingkan Khalifah Abdullah bin Zubir.

Perang di antara dua kekuatan itu tidak dapat dihindari.Lalu, Abdullah bin Zubir turun ke medan perang untuk memimpin pasukannya.

Tetapi, tenteranya belot dan pergi kepada pihak Bani Umaiyah. Akhirnya, dengan jumlah tentera yang sedikit, pasukan Abdullah bin Zubir undur ke Baitul Laham, bersembunyi di bawah Kaabah. Beberapa saat sebelum kekalahannya, Abdullah bin Zubir menemui ibunya. Ibunya bertanya,”Mengapa engkau datang ke sini, padahal batu besar yang dilontarkan pasukan Hajjaj kepada pasukanmu menggetarkan seluruh kota Makkah? “Aku datang hendak meminta nasihat daripada ibu,” jawab Abdullah dengan rasa hormat. “Mengenai apa?” tanya Asma’ lagi. “Tentera aku banyak yang belot. Mungkin kerana takut kepada Hajjaj atau mungkin juga mereka menginginkan sesuatu yang dijanjikan.

Tentera yang ada sekarang nampaknya tidak akan sabar bertahan lebih lama bersama aku. “Sementara itu, utusan Bani Umaiyah menawarkan kepadaku apa saja yang aku minta berupa kemewahan dunia, asal aku bersedia meletakkan senjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik bin Marwan sebagai Khalifah. Bagaimana pendapat ibu?”tanya Abdullah. Asma’ menjawab dengan suara tinggi,”Terserah engkau, wahai Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang lebih tahu tentang dirimu. ”Apabila engkau yakin dalam kebenaran, maka teguhkan hatimu seperti tentera engkau yang gugur.

Tetapi apabila engkau menginginkan kemewahan dunia, tentu engkau seorang lelaki yang pengecut. Bererti engkau mencelakakan diri sendiri, menjual murah sebuah kepahlawanan.”

Abdullah bin Zubir, menundukkan kepala di depan ibunya yang kecewa. Ibunya, walaupun tua dan buta, namun Abdullah seorang khalifah dan panglima yang gagah berani tidak sanggup melihat wajah ibunya kerana rasa hormat dan kasih kepadanya.

“Tetapi aku akan terbunuh hari ini, ibu,”kata Abdullah lembut. “Itu lebih baik bagimu, daripada engkau menyerahkan diri kepada Hajjaj.

Akhirnya kepala kamu akan dipijak-pijak oleh Bani Umaiyah dengan memberikan janji mereka yang sukar untuk dipercayai,”kata ibunya tegas. “Aku tidak takut mati, ibu! Tetapi aku khuatir mereka akan mencincang dan merobek-robek jenazah aku dengan kejam,” ujar Abdullah lagi. “Tidak ada apa yang perlu ditakuti dengan perbuatan orang hidup terhadap orang mati. Bukankah kambing yang disembelih tidak merasa sakit lagi ketika disiat?” jawab Asma’. “Yang ibu khuatir kalau engkau mati di jalan yang sesat,” sambung Asma’ lagi. “Percayalah ibu, aku tidak memiliki fikiran sesat untuk melakukan perbuatan keji. Aku tidak akan melanggar hukum Allah. Aku bukan pengecut dan aku lebih mengutamakan keredhaan Allah dan keredhaan ibu,” ucap Abdullah bersemangat.

Nasihat Asma’ memberi semangat kepada Abdullah untuk mempertahankan dan membela kebenaran. Sebelum matahari terbenam, Abdullah mati syahid menemui Allah.

Sunday, January 16, 2011

Umair bin al-hammam

Pada perang Badar ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Bangkitlah kalian menuju Surga yang lebarnya seluas langit dan bumi." Umair bertanya, "Wahai Rasulullah, Lebar Surga seluas langit dan bumi?" Beliau menjawab, "Benar," Umair berkata, "Bah-bah." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, "Apa yang menyebabkan kamu mengatakan Bah-bah?" Umair menjawab, "Demi Allah, Tidak wahai Rasulullah, aku hanya berharap, mudah-mudahan aku termasuk penghuninya." Rasulullah bersabda, "Sungguh, engkau termasuk penghuni Surga."

Umair lalu mengambil beberapa biji kurma dari tempat makanannya lalu menyuapnya. Kemudian berkata, "Sekiranya aku masih hidup sehingga menghabiskan kurma ini, sungguh ini merupakan kehidupan yang sangat panjang." Selanjutnya ia melemparkan kurma yang masih tersisa untuk maju berperang sebentar kemudian ia terbunuh dalam peperangan ini. (HR. Muslim, 1901.)

Do'a Abdullah Bin Jahsyi

Abdullah bin Jahsyi termasuk orang yang mula-mula memeluk Islam. Sahabat yang satu ini sangat erat hubungannya dengan Rasulullah. Dia adalah putra bibi Rasulullah, sebab ibunya yang bernama Umaimah binti Abdul Muthalib merupakan saudara perempuan ayahanda Rasulullah. Dia juga ipar Rasulullah, sebab saudara perempuannya yang bernama Zainab binti Jahsyi menjadi istri Rasulullah dan Ummahatul Mukminin.
Perang Uhud, bagi Abdullah bin Jahsyi dan Sa’ad bin Abi Waqqash perang ini merupakan kisah yang tak mungkin terlupakan. Berikut ini Sa’ad bin Abi Waqqash menuturkan pengalamannya bersama Abdullah bin Jahsyi :
Saat perang Uhud, aku berjumpa dengan Abdullah bin Jahsyi. Dia bertanya,”Tidakkah engkau mau berdo’a?”
Aku menjawab,”Ya.”
Kami berdua menyingkir ke tempat yang sunyi. Aku berdo’a pada kesempatan pertama : ”Ya Allah Tuhanku, bila aku bertemu musuh, maka pertemukanlah dengan musuh yang kuat tubuhnya, perkasa, lagi mudah naik darah. Aku akan bertarung melawannya, dan karuniakanlah kemenangan bagiku sehingga aku mampu menewaskannya dan mengambil perbekalannya sebagai ghanimah. . .”
Abdullah bin Jahsyi mengamini do’aku, kemudian ganti berdo’a : Ya Allah, hadapkanlah aku dengan musuh yang kekar tubuhnya, pemarah dan ulet. Aku akan bertarung melawannya, kemudian dia menghantamku dan menyayat hidung dan telingaku. Bila aku berjumpa denganMu pada hari berbangkit nanti dan Engkau bertanya,”Mengapa hidung dan telingamu putus?” Maka aku akan menjawab,”Karena Engkau dan karena Rasul-Mu.” Niscaya Engkau akan berkata,”Engkau benar. . .”
Do’a Abdullah bin Jahsyi lebih baik daripada do’aku. Aku melihat dia tewas di penghujung siang dalam keadaan hidung dan telinga tersayat. Sayatan hidung dan telinga itu digantungkan di pohon dengan tali.

Allah mengabulkan do’a Abdullah bin Jahsyi. Dia dikaruniai mati syahid sebagaimana dikaruniakanNya kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib.
Rasulullah mengebumikan dua orang ini dalam satu lahat. Air mata beliau yang suci menetes membasahi tanah merah yang semerbak dengan wewangian syahadah.

Amru bin Jamuh

Seorang yang Ingin Menginjakkan Kakinya di Surga

Amru bin Jamuh pada saat Jahiliyyah adalah salah seorang pembesar di kota Yatsrib (Madinah al-Munawwaroh), dan dia juga merupakan salah seorang pembesar dari Bani Salamah, beliau juga merupakan salah seorang yang suka memberi dan mempunyai akhlaq yang baik. Merupakan tanda dari kemuliaan dari jaman jahiliyyah, bahwasanya setiap pembesar mempunyai patung (berhala) yang khusus untuk dirinya, berhala itu ditempatkan di rumah mereka, untuk bertabarruk kepadanya, atau menyembelih dan melakukan ritual-ritual yang lainnya. Dan berhala (patung) Amru bin Jamuh dinamakan Manath. Amru bin Jamuh pada saat beliau masuk Islam telah berusia lanjut, yaitu 60 tahun.

Pada saat itu cahaya keimanan telah menerangi tiap rumah di kota Yatsrib (Madinah), utusan Rasulullah untuk kota Madinah adalah seorang sahabat yang mulia Mus'ab bin Umair. Ditangan Mus'ab inilah atas hidayah dari Allah ketiga anak laki-laki dari Amru bin Jamuh ini masuk Islam. Tidak ketinggalan Ibu mereka yang bernama Hindun juga masuk ke dalam Islam. Sedang ayah mereka yaitu Amru bin Jamuh sendiri tidak tahu sedikitpun kalau ketiga anaknya dan isterinya telah masuk Islam.

Hindun ini menyaksikan bahwa sebagian besar penduduk kota Yatsrib (Madinah) telah masuk Islam, dan para pemuka kaumpun tidak ketinggalan untuk masuk Islam, tetapi hanya suaminya yaitu Amru bin Jamuh dan segelintir penduduk Yatsrib yang belum masuk Islam. Sedangkan Hindun ini sangat mencintai dan menghormati suaminya, dan dia tidak mengharapkan suaminya mati dalam keadaan kafir karena bisa masuk neraka. Pada saat yang sama Amru bin Jamuh sendiri khawatir kalau ketiga anak sampai murtad dari agama nenek moyangnya yaitu penyembah berhala, kemudian mengikuti ajakan sang dai Mus'ab bin Umair untuk masuk kedalam agama Islam. Kekhawatirannya yang memuncak membuat ia (Amru) menasehati Isterinya agar menjauhkan anak-anaknya dari Mus'ab, agar tidak terpengaruh.

Pada suatu hari Hindun berkata kepada suaminyaAmru bin Jamuh : Apakah kau tidak mau mendengar sesuatu dari anakmu tentang apa yang dengar dari Mus'ab ? Celaka engkau apakah Muadz telah masuk kedalam agama baru itu dan aku tidak mengetahuinya? Hindun menjawab : "Tidak, tetapi ia hadir beberapa kali majlis dai ini dan ia telah menghafal beberapa kalimat darinya. Panggil ia kemari kata Amru, kemudian Muadz datang. Perdengarkan kepadaku apa yang engkau dapat dari Mus'ab!. Kemudian Muadz membaca :Al-Fatihah, Sungguh indah kata-kata ini, apakah semua perkataannya seperti ini ? Berkata Muadz : ada yang lebih baik dari ini, apakah kamu ingin mengikutinya ? sedangkan kaummu telah membai'atnya. Terdiam Amru sejenak... kemudian ia berkata : "Aku tidak akan melakukan apa-apa sampai aku bermusyawarah dengan Manath (berhalaku)". Mendengar itu berkata pemuda itu : "Apa yang bisa diucapkan oleh berhala itu (Manath), ia hanyalah sebuah patung yang bisu yang tidak mempunyai otak lagi tidak bisa bicara". Dengan marah Amru berkata : "Kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa dia (Manath)".
Kemudian Amru pun mengadukan masalahnya kepada manath sang berhala, ia berkata : "Wahai manath, tidak diragukan lagi, bahwa engkau telah mengetahui bahwa utusan yang dikirim kesini tidak menginginkan kejelekan kecuali kepada engkau dan ia datang melarang kami untuk beribadah kepada engkau... Aku tidak mau mengikutinya sampai aku bermusyawarah denganmu walaupun perkataan yang diucapkannya sangat bagus, maka berilah aku penjelasan". Tetapi Manath tetap bungkam seribu bahas, "Kelihatannya engkau masih marah kepadaku ... padahal aku tidak berbuat apapun tuk menyakitimu.... Tetapi tak apalah aku akan meninggalkanmu untuk beberapa hari sampai kemarahanmu reda".

Ketiga anak Amru bin Jamuh sangat mengetahui tentang keterikatan antara ayahnya dengan berhalanya Manath, dan keadaan Amru sekarang ini mulai guncang dan ragu terhadap Manath, dan inilah awal dari masuknya keimanan kedalam hati Amru bin Jamuh. Maka pada suatu malam pergilah ketiga anak Amru bin Jamuh bersama dengan Muadz ke tempat Manath (berhala), lalu mereka membawa berhala tersebut ke tempat pembuangan sampah dan kotoran bani Salamah, ketika sampai mereka lalu melemparkan sang berhala ke dalam lubang pembuangan tersebut, setelah itu mereka kembali kerumah tanpa diketahui oleh siapapun. Ketika pagi menjelang, terlihatlah Amru bin Jamuh dengan santai melangkah ke tempat sang berhala, alangkah kagetnya ia, ketika mengetahui bahwa berhala tersebut tidak ada ditempatnya, ia berteriak celaka kalian siapa yang berbuat jahat kepada tuhanku??? Tetapi tidak ada yang seorangpun yang menjawab. Dengan penuh kemarahan ia mencari berhala sesembahannya itu di dalam maupun diluar rumah, dan ia mendapatinya dalam posisi terjungkal dengan kepala di bawah di lubang tempat pembuangan sampah dan kotoran milik bani Salamah. Sambil membersihkan berhalanya dan meletakkannya kembali ketempatnya ia berkata : "Demi Allah kalau aku tahu siapa yang berbuat ini, aku akan memberinya pelajaran."

Pada malam kedua, ketiga anak Amru bin Jamuh kembali membuang Manath sang berhala ke tempat kotoran, pagi harinya bapak mereka Amru bin Jamuh kembali mengambilnya, membersihkannya, memberinya wewangian, dan meletakkannya kembali ke tempatnya. Setiap hari hal itu dilakukan berulang-ulang sampai suatu saat, Amru bin Jamuh merasa bosan, kemudian pada suatu malam ia meletakkan pedangnya di leher Manath sambil berkata : "Wahai Manath, demi Allah aku tidak tahu siapa yang berbuat jahat kepadamu selama ini, kalau kamu mempunyai kebaikan, maka lindungilah dirimu sendiri, dan aku memberimu pedangku... kemudian kembalilah Amru ke tempat tidurnya. Ketika Amru terlelap, kembali anak-anaknya membuang Manath sang berhala, tapi kali ini, mereka mengambil pedang ayahnya dan mengikatkan bangkai anjing pada berhala tersebut kemudian dibuang ke lubang kotoran seperti biasanya. Pada pagi harinya ketika bangun Amru mendapati Manath berhala itu telah berada dilubang kotoran terikat dengan bangkai anjing.
Tetapi kali ini Amru tidak mengeluarkan berhala itu dari lubang tersebut, bahkan ia membiarkannya, sambil berkata : Demi Allah kalau seandainya engkau benar tuhan engkau tidak akan terikat dengan bangkai anjing di lubang kotoran.

Sejak saat itu, mulailah Amru bin Jamuh merasakan manisnya keimanan, cahaya iman telah menerangi hatinya, hidupnya dipenuhi dengan ibadah kepada Allah, tidak ada yang membuatnya menyesal kecuali waktu yang telah ia habiskan di dalam kesyirikan. Mulailah ia menerima agama Islam ini dengan sepenuh hati danjiwanya, ia serahkan semua, jiwanya, hartanya, dan anak-anaknya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Ketika tiba waktu berjihad, Rasulullah menyeru para sahabatnya untuk pergi berperang ke gunung Uhud. Mendengar paggilan jihad itu, Amru bin Jamuh menyambutnya dengan penuh semangat, segera mereka bersiap-siap menemui Rasulullah , mereka pergi bergegas seakan-akan seperti singa memburu buruannya, tidak ada yang mendorongnya kecuali semangat ingin meraih mati syahid di jalan Allah atau kemenangan dengan ridho Allah. Amru bin Jamuh telah bertekad ingin berperang di bawah bendera Rasulullah , akan tetapi ketiga anaknya melarangnya, karena kondisi Amru yang tidak memungkinkan untuk pergi berperang, selain usianya yang sudah tua, kakinya cacat, bengkok yang sangat, sehingga sulit berjalan. Kemudian anaknya berkata "Wahai ayahanda, Allah telah memberi udzur (keringanan) kepadamu, maka ambillah keringan itu, jangan engkau memaksakan dirimu! Maka marahlah Amru mendengar perkataan anaknya, kemudian ia melapor kepada Rasulullah , : "Wahai Nabi Allah, anak-anakku telah melarang pergi berjihad dikarenakan keadaanku yang cacat, Demi Allah aku ingin menginjakkan kakiku yang cacat ini di surga. Rasulullah bersabda "Biarkan ayahmu pergi berjihad, semoga Allah mengabulkan permohonannya. Amru bin Jamuh segera menghadap kiblat dan berdoa : "Ya, Allah karunialah aku mati syahid dijalan-Mu".

Pada saat peperangan berkecamuk, Amru bin Jamuh melaju ke garis depan dengan anaknya yang bernama Khollad, mereka berdua bertempur layaknya singa yang lagi terluka, dengan gagah berani menghadang musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak, tidak lama setelah itu Amru bin Jamuh dan anaknya gugur di medan laga. Setelah perang usai, Rasulullah mengumpul para syuhada' dan menguburkan mereka. Beliau bersabda "Kuburkan mereka bersama darah dan luka-luka mereka, saya yang akan menjadi saksi atas mereka nanti di hari kiamat."

"Siapa saja dari kalangan orang-orang Muslim terluka di jalan Allah subhanu wata'ala, maka nanti dihari kiamat dia akan datang dengan lukanya tersebut yang masih mengalirkan darah, warna darahnya seperti za'faron dan baunya seperti minyak misik." Kemudian beliau melanjutkan sabdanya
"Semayamkan Amru bin Jamuh satu liang dengan sahabatnya Abdullah bin Amru karena dulu mereka adalah dua sahabat karib selama di dunia."

Semoga Allah subhanahu wata'ala melimpahkan rahmatnya kepada Amru bin Jamuh dan seluruh para syuhada'Uhud, dan semoga Allah menerangi kuburan-kuburan mereka dengan cahaya yang terang.

Sultan Muhammad al-Fateh

“Tidaklah kami pernah melihat ataupun mendengar hal ajaib seperti ini. Muhammad al-Fateh sudah menukar darat menjadi lautan, melayarkan kapalnya di puncak gunung dan bukannya di ombak lautan. Sesungguhnya Muhammad al-Fateh dengan usahanya ini telah mengatasi Alexander The Great!”- Ahli Sejarah Byzantine

Sultan Muhamad al-Fateh dilahirkan pada 27 Rajab 835 Hijrah bersamaan 29 Mac 1432 M dan meninggal dunia pada 3 Mei 1481.
Ketika berumur 19 tahun beliau menaiki takhta menggantikan ayahnya Sultan Murad. Baginda menjadikan Adrianopel (Adana) pusat pemerintahan dan ibu kotanya bagi memudahkan cita-citanya menawan Konstantinopel. Dan ketika berusia 21 tahun Sultan Muhamad al Fateh berjaya menakluk Konstantinopel pada 29 Mei 1453 bersamaan 20 jamadil awal 857 hijrah.

Kota Konstantinopel yang kini dinamakan Istanbul (Islam keseluruhannya), terletak di sempadan antara benua Eropah dengan Asia. Ia dihubungkan oleh Selat Bosphorus. Sebelum itu Kota Konstantinopel pernah cuba ditakluk oleh bangsa Gothik, Parsi, Bulgaria dan Rusia tetapi tidak berjaya. Umat Islam berusaha menawan kota tersebut kerana percaya dengan hadis Rasulullah SAW yang mengatakan Konstantinopel akan ditawan oleh orang Islam.

Setelah lebih 800 tahun hadis itu diucapkan oleh Rasulullah SAW barulah menjadi kenyataan. Seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Abu Ayyub Al-Anshari RA gugur syahid lalu dikebumikan di sisi benteng Konstantinopel.

Sultan Muhammad al-Fateh sejak dalam buaian lagi sudah diisyaratkan bakal mencipta sejarah oleh seorang alim, Syeikh Syamsuddin Al Wali. Beliau pernah berkata kepada Sultan Murad (ayah kepada Muhammad al-Fateh):

“Wahai Sultan Murad, bukan tuanku yang akan membebaskan kota konstantinopel, tetapi anak yang dalam buaian itu,” sambil menunjuk Muhammad al-Fateh yang masih di dalam buaian.

Sejak itu Muhammad al-Fateh dilatih hidup sederhana, dididik dengan ilmu agama dan ilmu peperangan. Beliau membesar sebagai pemuda yang tampan. Bentuk badannya tegap, kuat dan tinggi. Pipinya putih kemerah-merahan dan hidungnya mancung.

Beliau mula menaiki takhta ketika umurnya 19 tahun. Di kala itu baginda sudah begitu arif dengan tipu helah musuh. Pernah Maharaja Konstantinopel mengirim guru-guru terbaik untuk mendidiknya tentang adab dan adat istiadat kehidupan raja-raja, tetapi beliau menolaknya lalu menyuruh guru-guru tersebut pulang.

Kemudian baginda membina benteng yang dinamakan Rumeli Hisarri yang bermaksud benteng orang-orang Rom. Baginda sendiri membuka baju dan serbannya, mengangkat batu dan pasir hingga ulama-ulama dan menteri-menteri terpaksa ikut serta.

Sultan Muhamad al-Fateh menukar nama Kota Konstantinopel kepada Istanbul lalu menjadikan ibu kotanya. Kemudian beliau menakluk Serbia pada tahun 1460 dan Bosnia pada tahun 1462. Seterusnya Sultan Muhamad al Fateh menakluk Italia, Hungari, dan Jerman. Ketika berada dikemuncak kegemilangannya, Sultan Muhamad al Fateh memerintah 25 buah negeri. Kemudian dia membuat persiapan menakluk Rhodesia tetapi meninggal dunia kerana diracun oleh seorang Yahudi bernama Maesto Jakopa

Sultan Muhammad Al Fateh yang dilahirkan pada 29 Mac 1432 itu telah meninggal dunia pada 3 Mei 1481 ketika berusia 49 tahun.

Sumayyah binti Khayyat Radhiallaahu ‘anha

Dialah Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughiroh. Beliau dinikahi oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekkah sehingga tidak ada kabilah yang dapat membela, menolak dan mencegah kezaliman atas dirinya, karena dia hidup sebatang kara. Posisinya menjadi sulit dibawah naungan aturan yang berlaku pada masa Jahiliyah.

Begitulah Yasir mendapatkan dirinya menyerahkan perlindungannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Huzaifah. Dia akhirnya dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah, tokoh yang kita bicarakan ini. Beliau hidup bersamanya dalam suasana yang tenteram. Tidak berselang lama dari pernikahan tersebut, merekapun dikaruniai dua orang anak, yaitu ‘Ammar dan Ubaidullah

Tatkala ‘Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki beliau mendengar agama baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada beliau. Maka berfikirlah ‘Ammar bin Yasir sebagaimana yang difikirkan oleh penduduk Mekkah, sehingga kesungguhan beliau di dalam berfikir dan lurusnya fitrah beliau, menggiringnya untuk memeluk Dienul Islam.

‘Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya.

Beliau menceritakan kejadian yang beliau alami hingga pertemuannya dengan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian menawarkan kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata Yasir dan Sumayyah menyahut dakwah yang penuh berkah tersebut dan bahkan mengumumkan keislamannya sehingga Sumayyah menjadi orang ketujuh yang masuk Islam.

Dari sinilah dimulai sejarah yang agung bagi Sumayyah yang bertepatan dengan permulaan dakwah Islam dan sejak fajar terbit untuk pertama kalinya.

Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena ‘Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah masuk Islam bahkan mengumumkan keislamannya dengan kuat sehingga orang-orang kafir menyikapinya dengan menentang dan memusuhi mereka.

Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari dien mereka. Mereka memaksa dengan cara menyeret mereka ke padang pasir tatkala cuaca sangat panas dan menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan diatas dadanya sebongkah batu yang berat, akan tetapi tiada terdengar rintihan ataupun ratapan melainkan ucapan Ahad….Ahad…., beliau ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang diucapkan juga oleh Yasir, ‘Ammar dan Bilal.

Suatu ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah tersiksa secara kejam, maka beliau menengadahkan tangannya ke langit dan berseru :
"Bersabarlah keluarga Yasir karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga"

Sumayyah mendengar seruan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertambah tegar dan optimis dengan kewibawaan imannya. Dia mengulang-ulang dengan berani: "Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar".

Sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu yang sepele dalam rangka memperjuangkan aqidahnya. Di hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para Thaghut yang zhalim, yang mana mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya sekalipun hanya satu langkah semut.

Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari istrinya. Sumayyah pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Tatkala para Thaghut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah maka musuh Allah, Abu jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkannya sangkur yang berada dalam genggamannya ke tubuhnya. Maka terbanglah nyawa beliau dari raganya yang beriman dan bersih. Dan beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh yang baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan, yang mana beliau telah mengerahkan segala apa yang beliau miliki, dan menganggap remeh kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal dalam rangka meraih keridhaan Rabb-nya. "Dan mendermakan jiwa adalah puncak tertinggi dari kedermawanan".

(Diambil dari buku Mengenal Shahabiah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan sedikit perubahan, penerbit Pustaka AT-TIBYAN)