Permata Bahagia


marhaban2u.com

Wednesday, January 19, 2011

waktu-waktu mustajab dimakbulkan doa

Alhamdulilllah, segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam ini. Dialah Yang Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dia pulalah Yang Maha Mengetahui segala kebutuhan hamba-Nya. Dia juga mengetahui bahwa para hamba-Nya lemah sangat butuh terhadap pertolongan. Oleh karena itu, Dia memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, sekaligus berjanji akan mengabulkan doa dan permohonan mereka kepada-Nya apabila terpenuhi syarat-syarat dan adab-adabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al-Mu’min: 60)

Para pembaca rahimakumullah, dalam ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, dan berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Bahkan sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam para hamba-Nya yang enggan untuk berdoa kepada-Nya karena telah jatuh kepada sifat kesombongan.

Para pembaca, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Para dasarnya, kita boleh berdoa kapan dan dimana saja. Akan tetapi, di sana ada waktu-waktu tertentu yang mempunyai nilai lebih untuk dikabulkannya doa. Diantara waktu-waktu tersebut adalah:



1. Malam (lailatul) Qadar

’Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Wahai Rasulullah, apa petunjukmu bila aku mendapati malam (laitul) Qadar itu, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Ucapkanlah (doa):

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai perbuatan memberi maaf, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)



2. Di sepertiga malam yang akhir dan di waktu sahur

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan salah satu sifat para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya (artinya):

“Dan pada waktu akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun.” (Adz-Dzariyat: 18)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Rabb kita Yang Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir seraya berfirman: ’Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan apa yang dimintanya. Siapa yang minta ampun kepada-Ku maka aku akan mengampuninya’.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)



3. Di akhir shalat fardhu

Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Wahai Rasulullah, doa apakah yang didengarkan (dikabulkan)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

“Doa yang dipanjatkan di tengah malam yang akhir dan di akhir shalat wajib.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)

Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kata ((دُبُرَ)) dalam hadits diatas. Apakah maksudnya sebelum salam atau setelah salam dari shalat?

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam kitabnya, Zadul Ma’ad, 1/378:

“…bisa jadi maksudnya sebelum salam dan bisa jadi setelahnya. Adapun Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah) menguatkan pendapat yang menyatakan sebelum salam.”

Sedangkan Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah berpandangan di akhir setiap shalat fardhu adalah sebelum salam, sehingga doa itu dipanjatkan setelah selesai membaca tasyahhud akhir dan shalawat sebelum mengucapkan salam sebagai penutup ibadah shalat. Beliau rahimahullah berkata: ”Riwayat yang menyebutkan adanya doa yang dibaca di …… (.., red) berarti doa itu dibaca sebelum salam. Sedangkan dzikir yang dinyatakan untuk dibaca di….. (…, red) maka maksudnya dzikir itu dibaca setelah selesainya shalat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): ”Apabila kalian telah selesai dari mengerjakan shalat, berdzikirlah kalian kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring diatas lambung-lambung kalian.” (An-Nisa`: 103)



4. Antara adzan dan iqamah

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak tertolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud)



5. Satu waktu di malam hari

Jabir radhiyallahu ‘anhuma berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya pada malam hari ada satu waktu yang tidaklah bersamaan dengan itu seorang muslim meminta kepada Allah kebaikan dari perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkan permintaan tersebut, dan itu ada di setiap malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan: “Pada hadits tersebut terkandung adanya penetapan satu waktu mustajab pada setiap malam, dan anjuran untuk berdoa di waktu-waktu malam dengan harapan bertepatan dengan waktu mustajab tersebut.” (Al-Minhaj, 3/95)



6. Ketika terbangun di waktu malam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang terbangun di waktu malam lalu mengucapkan (artinya,red) : ‘Tidak ada Illah yang berhak di sembah dengan benar selain Allah. Tidak ada sekutu baginya dan Dialah yang memiliki kekuasaan dan pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah. Maha Suci Allah, Tidak ada Illah yang berhak disembah dengan benar selain Allah. Allah Maha Besar. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah -Subhanahu wa Ta`ala.” Kemudian mengucapkan (artinya,red) : “Ya Allah, ampunilah aku”

Atau berdoa, maka dikabulkan (doanya). Dan jika berwudhu’ kemudian melaksanakan shalat maka shalatnya diterima.” (HR. Al-Bukhari)

Sebagian ulama mengatakan: “Dalam keadaan seperti ini lebih diharapkan terkabulkannya doa begitu juga diterimanya shalat dibandingkan waktu/keadaan yang lainnya.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 8/311)



7. Ketika dikumandangkannya adzan dan dirapatkannya barisan, berhadapan dengan barisan musuh di medan tempur

Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Dua waktu/keadaan yang didalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan jarang sekali tertolak doa yang dipanjatkan ketika itu, yaitu saat diserukan panggilan shalat (adzan) dan saat berada dalam barisan di jalan Allah (ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, pent).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubra)



8. Suatu waktu pada hari Jum’at

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentang hari Jum’at, beliau bersabda:

“Sesungguhnya di hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah waktu tersebut bertepatan dengan seorang muslim yang sedang melaksanakan shalat, lalu meminta kepada Allah suatu kebaikan, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan singkatnya waktu tersebut. (Muttafaqun ’alaihi)

Ulama berbeda pendapat tentang batasan waktunya. Ada yang mengatakan waktunya adalah saat masuknya khatib ke masjid. Ada yang mengatakan ketika matahari telah tergelincir, ada yang mengatakan setelah shalat ashar, dan ada pula yang mengatakan waktunya dari terbit fajar sampai terbit matahari. (Al-Minhaj, 6/379)

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/378), berpendapat bahwa pendapat yang lebih tepat dalam permasalahan ini adalah bahwa waktunya setelah shalat ashar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Sesungguhnya pada hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim memohon suatu kebaikan kepada Allah, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya, dan waktunya adalah setelah shalat ashar.” (HR. Ahmad)



9. Ketika sujud

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Paling dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud maka perbanyaklah oleh kalian doa ketika sedang sujud.” (HR. Muslim)



10. Doa pada hari Arafah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baihaqy)



Penutup

Para pembaca rahimakumullah, doa adalah termasuk ibadah. Oleh karenanya, sudah semestinya kita mencukupkan dengan apa-apa yang telah dicontohkan oleh junjungan dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam pelaksanaannya. Suatu misal, jika kita mau menggunakan pembukaan ketika hendak berdoa, maka bukalah doa tersebut dengan pembukaan yang syar’i (yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bukan dengan pembukaan-pembukaan yang tidak syar’i (yang tidak ada tuntunannya), karena akibatnya fatal, doa kita bisa tidak dikabukan. Disisi lain, kita bisa menuai dosa karena telah mengadakan perkara yang baru dalam urusan agama.

Wallahu a’lam bishshowab

Sumber : Waktu-waktu Mustajab Untuk Berdoa, Buletin Islam AL ILMU Edisi:44/XI/VIII/1431

http://www.buletin-alilmu.com/waktu-waktu-mustajab-untuk-berdoa

Tuesday, January 18, 2011

Asma' binti Abu Bakar

Asma binti Abu Bakar, turut dikenali sebagai wanita besi yang berumur panjang. Nama wanita ini pendek sahaja, tetapi, perjalanan hidupnya tidak pendek seperti namanya. Allah memberinya umur panjang dan kecerdasan berfikir, hingga dia dapat mewarnai perjalanan hidup generasi tabiin (pengikut Rasulullah) dengan perjalanan kehidupan pada zaman Rasulullah.

Asma’, termasuk kelompok wanita yang pertama masuk Islam. Permulaan Asma’ tidak boleh dipisahkan dengan peristiwa hijrah Rasulullah dan ayahnya Abu Bakar.

Dialah yang mengirimkan bekalan makanan dan minuman kepada mereka. Lantaran peristiwa inilah, Asma’ digelar sebagai “dzatun nithaqain” yang membawa maksud wanita yang mempunyai dua ikat pinggang.

Gelaran ini diberikan ketika Asma’ hendak mengikat karung makanan dan tempat minuman yang akan dikirim kepada Rasulullah dan Abu Bakar. Pada waktu itu, Asma’ tidak memiliki tali untuk mengikatnya, maka dia memotong ikat pinggangnya menjadi dua,satu untuk mengikat karung makanan dan satu lagi untuk mengikat tempat air minum. Ketika Rasulullah mengetahui hal ini, baginda berdoa semoga Allah akan menggantikan ikat piinggang Asma’ dengan dua ikat pinggang yang lebih baik dan indah di syurga.

Asma’ berkahwin dengan Zubir bin Awwam, seorang pemuda dari golongan biasa yang tidak memiliki harta, kecuali seekor kuda. Namun demikian, Asma’ tidak kecewa. Dia tetap setia melayan suaminya. Sekiranya suaminya sibuk menyebarkan tugas daripada Rasulullah, Asma’ tidak segan merawat dan menumbuk biji kurma untuk makanan kuda suaminya. Hasil perkahwinannya, Allah menganugerahi mereka seorang anak yang cerdas yang diberi nama Abdullah bin Zubir.

Asma’ memiliki beberapa sifat istimewa. Selain cantik, dia mempunyai sifat yang hampir sama dengan dengan saudaranya Aisyah, cerdas, pantas dan lincah. Sifatnya yang pemurah menjadi teladan kepada ramai orang.

Waktu terus berlalu, anaknya Abdullah bin Zubir diangkat menjadi Khalifah menggantikan Yazid bin Mu’awwiyah yang wafat. Bani Umaiyah tidak rela dengan kepemimpinan Abdullah bin Zubir. Mereka menyiapkan tentera yang besar dalam pimpinan Panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi untuk menggulingkan Khalifah Abdullah bin Zubir.

Perang di antara dua kekuatan itu tidak dapat dihindari.Lalu, Abdullah bin Zubir turun ke medan perang untuk memimpin pasukannya.

Tetapi, tenteranya belot dan pergi kepada pihak Bani Umaiyah. Akhirnya, dengan jumlah tentera yang sedikit, pasukan Abdullah bin Zubir undur ke Baitul Laham, bersembunyi di bawah Kaabah. Beberapa saat sebelum kekalahannya, Abdullah bin Zubir menemui ibunya. Ibunya bertanya,”Mengapa engkau datang ke sini, padahal batu besar yang dilontarkan pasukan Hajjaj kepada pasukanmu menggetarkan seluruh kota Makkah? “Aku datang hendak meminta nasihat daripada ibu,” jawab Abdullah dengan rasa hormat. “Mengenai apa?” tanya Asma’ lagi. “Tentera aku banyak yang belot. Mungkin kerana takut kepada Hajjaj atau mungkin juga mereka menginginkan sesuatu yang dijanjikan.

Tentera yang ada sekarang nampaknya tidak akan sabar bertahan lebih lama bersama aku. “Sementara itu, utusan Bani Umaiyah menawarkan kepadaku apa saja yang aku minta berupa kemewahan dunia, asal aku bersedia meletakkan senjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik bin Marwan sebagai Khalifah. Bagaimana pendapat ibu?”tanya Abdullah. Asma’ menjawab dengan suara tinggi,”Terserah engkau, wahai Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang lebih tahu tentang dirimu. ”Apabila engkau yakin dalam kebenaran, maka teguhkan hatimu seperti tentera engkau yang gugur.

Tetapi apabila engkau menginginkan kemewahan dunia, tentu engkau seorang lelaki yang pengecut. Bererti engkau mencelakakan diri sendiri, menjual murah sebuah kepahlawanan.”

Abdullah bin Zubir, menundukkan kepala di depan ibunya yang kecewa. Ibunya, walaupun tua dan buta, namun Abdullah seorang khalifah dan panglima yang gagah berani tidak sanggup melihat wajah ibunya kerana rasa hormat dan kasih kepadanya.

“Tetapi aku akan terbunuh hari ini, ibu,”kata Abdullah lembut. “Itu lebih baik bagimu, daripada engkau menyerahkan diri kepada Hajjaj.

Akhirnya kepala kamu akan dipijak-pijak oleh Bani Umaiyah dengan memberikan janji mereka yang sukar untuk dipercayai,”kata ibunya tegas. “Aku tidak takut mati, ibu! Tetapi aku khuatir mereka akan mencincang dan merobek-robek jenazah aku dengan kejam,” ujar Abdullah lagi. “Tidak ada apa yang perlu ditakuti dengan perbuatan orang hidup terhadap orang mati. Bukankah kambing yang disembelih tidak merasa sakit lagi ketika disiat?” jawab Asma’. “Yang ibu khuatir kalau engkau mati di jalan yang sesat,” sambung Asma’ lagi. “Percayalah ibu, aku tidak memiliki fikiran sesat untuk melakukan perbuatan keji. Aku tidak akan melanggar hukum Allah. Aku bukan pengecut dan aku lebih mengutamakan keredhaan Allah dan keredhaan ibu,” ucap Abdullah bersemangat.

Nasihat Asma’ memberi semangat kepada Abdullah untuk mempertahankan dan membela kebenaran. Sebelum matahari terbenam, Abdullah mati syahid menemui Allah.

Sunday, January 16, 2011

Umair bin al-hammam

Pada perang Badar ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Bangkitlah kalian menuju Surga yang lebarnya seluas langit dan bumi." Umair bertanya, "Wahai Rasulullah, Lebar Surga seluas langit dan bumi?" Beliau menjawab, "Benar," Umair berkata, "Bah-bah." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, "Apa yang menyebabkan kamu mengatakan Bah-bah?" Umair menjawab, "Demi Allah, Tidak wahai Rasulullah, aku hanya berharap, mudah-mudahan aku termasuk penghuninya." Rasulullah bersabda, "Sungguh, engkau termasuk penghuni Surga."

Umair lalu mengambil beberapa biji kurma dari tempat makanannya lalu menyuapnya. Kemudian berkata, "Sekiranya aku masih hidup sehingga menghabiskan kurma ini, sungguh ini merupakan kehidupan yang sangat panjang." Selanjutnya ia melemparkan kurma yang masih tersisa untuk maju berperang sebentar kemudian ia terbunuh dalam peperangan ini. (HR. Muslim, 1901.)

Do'a Abdullah Bin Jahsyi

Abdullah bin Jahsyi termasuk orang yang mula-mula memeluk Islam. Sahabat yang satu ini sangat erat hubungannya dengan Rasulullah. Dia adalah putra bibi Rasulullah, sebab ibunya yang bernama Umaimah binti Abdul Muthalib merupakan saudara perempuan ayahanda Rasulullah. Dia juga ipar Rasulullah, sebab saudara perempuannya yang bernama Zainab binti Jahsyi menjadi istri Rasulullah dan Ummahatul Mukminin.
Perang Uhud, bagi Abdullah bin Jahsyi dan Sa’ad bin Abi Waqqash perang ini merupakan kisah yang tak mungkin terlupakan. Berikut ini Sa’ad bin Abi Waqqash menuturkan pengalamannya bersama Abdullah bin Jahsyi :
Saat perang Uhud, aku berjumpa dengan Abdullah bin Jahsyi. Dia bertanya,”Tidakkah engkau mau berdo’a?”
Aku menjawab,”Ya.”
Kami berdua menyingkir ke tempat yang sunyi. Aku berdo’a pada kesempatan pertama : ”Ya Allah Tuhanku, bila aku bertemu musuh, maka pertemukanlah dengan musuh yang kuat tubuhnya, perkasa, lagi mudah naik darah. Aku akan bertarung melawannya, dan karuniakanlah kemenangan bagiku sehingga aku mampu menewaskannya dan mengambil perbekalannya sebagai ghanimah. . .”
Abdullah bin Jahsyi mengamini do’aku, kemudian ganti berdo’a : Ya Allah, hadapkanlah aku dengan musuh yang kekar tubuhnya, pemarah dan ulet. Aku akan bertarung melawannya, kemudian dia menghantamku dan menyayat hidung dan telingaku. Bila aku berjumpa denganMu pada hari berbangkit nanti dan Engkau bertanya,”Mengapa hidung dan telingamu putus?” Maka aku akan menjawab,”Karena Engkau dan karena Rasul-Mu.” Niscaya Engkau akan berkata,”Engkau benar. . .”
Do’a Abdullah bin Jahsyi lebih baik daripada do’aku. Aku melihat dia tewas di penghujung siang dalam keadaan hidung dan telinga tersayat. Sayatan hidung dan telinga itu digantungkan di pohon dengan tali.

Allah mengabulkan do’a Abdullah bin Jahsyi. Dia dikaruniai mati syahid sebagaimana dikaruniakanNya kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib.
Rasulullah mengebumikan dua orang ini dalam satu lahat. Air mata beliau yang suci menetes membasahi tanah merah yang semerbak dengan wewangian syahadah.

Amru bin Jamuh

Seorang yang Ingin Menginjakkan Kakinya di Surga

Amru bin Jamuh pada saat Jahiliyyah adalah salah seorang pembesar di kota Yatsrib (Madinah al-Munawwaroh), dan dia juga merupakan salah seorang pembesar dari Bani Salamah, beliau juga merupakan salah seorang yang suka memberi dan mempunyai akhlaq yang baik. Merupakan tanda dari kemuliaan dari jaman jahiliyyah, bahwasanya setiap pembesar mempunyai patung (berhala) yang khusus untuk dirinya, berhala itu ditempatkan di rumah mereka, untuk bertabarruk kepadanya, atau menyembelih dan melakukan ritual-ritual yang lainnya. Dan berhala (patung) Amru bin Jamuh dinamakan Manath. Amru bin Jamuh pada saat beliau masuk Islam telah berusia lanjut, yaitu 60 tahun.

Pada saat itu cahaya keimanan telah menerangi tiap rumah di kota Yatsrib (Madinah), utusan Rasulullah untuk kota Madinah adalah seorang sahabat yang mulia Mus'ab bin Umair. Ditangan Mus'ab inilah atas hidayah dari Allah ketiga anak laki-laki dari Amru bin Jamuh ini masuk Islam. Tidak ketinggalan Ibu mereka yang bernama Hindun juga masuk ke dalam Islam. Sedang ayah mereka yaitu Amru bin Jamuh sendiri tidak tahu sedikitpun kalau ketiga anaknya dan isterinya telah masuk Islam.

Hindun ini menyaksikan bahwa sebagian besar penduduk kota Yatsrib (Madinah) telah masuk Islam, dan para pemuka kaumpun tidak ketinggalan untuk masuk Islam, tetapi hanya suaminya yaitu Amru bin Jamuh dan segelintir penduduk Yatsrib yang belum masuk Islam. Sedangkan Hindun ini sangat mencintai dan menghormati suaminya, dan dia tidak mengharapkan suaminya mati dalam keadaan kafir karena bisa masuk neraka. Pada saat yang sama Amru bin Jamuh sendiri khawatir kalau ketiga anak sampai murtad dari agama nenek moyangnya yaitu penyembah berhala, kemudian mengikuti ajakan sang dai Mus'ab bin Umair untuk masuk kedalam agama Islam. Kekhawatirannya yang memuncak membuat ia (Amru) menasehati Isterinya agar menjauhkan anak-anaknya dari Mus'ab, agar tidak terpengaruh.

Pada suatu hari Hindun berkata kepada suaminyaAmru bin Jamuh : Apakah kau tidak mau mendengar sesuatu dari anakmu tentang apa yang dengar dari Mus'ab ? Celaka engkau apakah Muadz telah masuk kedalam agama baru itu dan aku tidak mengetahuinya? Hindun menjawab : "Tidak, tetapi ia hadir beberapa kali majlis dai ini dan ia telah menghafal beberapa kalimat darinya. Panggil ia kemari kata Amru, kemudian Muadz datang. Perdengarkan kepadaku apa yang engkau dapat dari Mus'ab!. Kemudian Muadz membaca :Al-Fatihah, Sungguh indah kata-kata ini, apakah semua perkataannya seperti ini ? Berkata Muadz : ada yang lebih baik dari ini, apakah kamu ingin mengikutinya ? sedangkan kaummu telah membai'atnya. Terdiam Amru sejenak... kemudian ia berkata : "Aku tidak akan melakukan apa-apa sampai aku bermusyawarah dengan Manath (berhalaku)". Mendengar itu berkata pemuda itu : "Apa yang bisa diucapkan oleh berhala itu (Manath), ia hanyalah sebuah patung yang bisu yang tidak mempunyai otak lagi tidak bisa bicara". Dengan marah Amru berkata : "Kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa dia (Manath)".
Kemudian Amru pun mengadukan masalahnya kepada manath sang berhala, ia berkata : "Wahai manath, tidak diragukan lagi, bahwa engkau telah mengetahui bahwa utusan yang dikirim kesini tidak menginginkan kejelekan kecuali kepada engkau dan ia datang melarang kami untuk beribadah kepada engkau... Aku tidak mau mengikutinya sampai aku bermusyawarah denganmu walaupun perkataan yang diucapkannya sangat bagus, maka berilah aku penjelasan". Tetapi Manath tetap bungkam seribu bahas, "Kelihatannya engkau masih marah kepadaku ... padahal aku tidak berbuat apapun tuk menyakitimu.... Tetapi tak apalah aku akan meninggalkanmu untuk beberapa hari sampai kemarahanmu reda".

Ketiga anak Amru bin Jamuh sangat mengetahui tentang keterikatan antara ayahnya dengan berhalanya Manath, dan keadaan Amru sekarang ini mulai guncang dan ragu terhadap Manath, dan inilah awal dari masuknya keimanan kedalam hati Amru bin Jamuh. Maka pada suatu malam pergilah ketiga anak Amru bin Jamuh bersama dengan Muadz ke tempat Manath (berhala), lalu mereka membawa berhala tersebut ke tempat pembuangan sampah dan kotoran bani Salamah, ketika sampai mereka lalu melemparkan sang berhala ke dalam lubang pembuangan tersebut, setelah itu mereka kembali kerumah tanpa diketahui oleh siapapun. Ketika pagi menjelang, terlihatlah Amru bin Jamuh dengan santai melangkah ke tempat sang berhala, alangkah kagetnya ia, ketika mengetahui bahwa berhala tersebut tidak ada ditempatnya, ia berteriak celaka kalian siapa yang berbuat jahat kepada tuhanku??? Tetapi tidak ada yang seorangpun yang menjawab. Dengan penuh kemarahan ia mencari berhala sesembahannya itu di dalam maupun diluar rumah, dan ia mendapatinya dalam posisi terjungkal dengan kepala di bawah di lubang tempat pembuangan sampah dan kotoran milik bani Salamah. Sambil membersihkan berhalanya dan meletakkannya kembali ketempatnya ia berkata : "Demi Allah kalau aku tahu siapa yang berbuat ini, aku akan memberinya pelajaran."

Pada malam kedua, ketiga anak Amru bin Jamuh kembali membuang Manath sang berhala ke tempat kotoran, pagi harinya bapak mereka Amru bin Jamuh kembali mengambilnya, membersihkannya, memberinya wewangian, dan meletakkannya kembali ke tempatnya. Setiap hari hal itu dilakukan berulang-ulang sampai suatu saat, Amru bin Jamuh merasa bosan, kemudian pada suatu malam ia meletakkan pedangnya di leher Manath sambil berkata : "Wahai Manath, demi Allah aku tidak tahu siapa yang berbuat jahat kepadamu selama ini, kalau kamu mempunyai kebaikan, maka lindungilah dirimu sendiri, dan aku memberimu pedangku... kemudian kembalilah Amru ke tempat tidurnya. Ketika Amru terlelap, kembali anak-anaknya membuang Manath sang berhala, tapi kali ini, mereka mengambil pedang ayahnya dan mengikatkan bangkai anjing pada berhala tersebut kemudian dibuang ke lubang kotoran seperti biasanya. Pada pagi harinya ketika bangun Amru mendapati Manath berhala itu telah berada dilubang kotoran terikat dengan bangkai anjing.
Tetapi kali ini Amru tidak mengeluarkan berhala itu dari lubang tersebut, bahkan ia membiarkannya, sambil berkata : Demi Allah kalau seandainya engkau benar tuhan engkau tidak akan terikat dengan bangkai anjing di lubang kotoran.

Sejak saat itu, mulailah Amru bin Jamuh merasakan manisnya keimanan, cahaya iman telah menerangi hatinya, hidupnya dipenuhi dengan ibadah kepada Allah, tidak ada yang membuatnya menyesal kecuali waktu yang telah ia habiskan di dalam kesyirikan. Mulailah ia menerima agama Islam ini dengan sepenuh hati danjiwanya, ia serahkan semua, jiwanya, hartanya, dan anak-anaknya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Ketika tiba waktu berjihad, Rasulullah menyeru para sahabatnya untuk pergi berperang ke gunung Uhud. Mendengar paggilan jihad itu, Amru bin Jamuh menyambutnya dengan penuh semangat, segera mereka bersiap-siap menemui Rasulullah , mereka pergi bergegas seakan-akan seperti singa memburu buruannya, tidak ada yang mendorongnya kecuali semangat ingin meraih mati syahid di jalan Allah atau kemenangan dengan ridho Allah. Amru bin Jamuh telah bertekad ingin berperang di bawah bendera Rasulullah , akan tetapi ketiga anaknya melarangnya, karena kondisi Amru yang tidak memungkinkan untuk pergi berperang, selain usianya yang sudah tua, kakinya cacat, bengkok yang sangat, sehingga sulit berjalan. Kemudian anaknya berkata "Wahai ayahanda, Allah telah memberi udzur (keringanan) kepadamu, maka ambillah keringan itu, jangan engkau memaksakan dirimu! Maka marahlah Amru mendengar perkataan anaknya, kemudian ia melapor kepada Rasulullah , : "Wahai Nabi Allah, anak-anakku telah melarang pergi berjihad dikarenakan keadaanku yang cacat, Demi Allah aku ingin menginjakkan kakiku yang cacat ini di surga. Rasulullah bersabda "Biarkan ayahmu pergi berjihad, semoga Allah mengabulkan permohonannya. Amru bin Jamuh segera menghadap kiblat dan berdoa : "Ya, Allah karunialah aku mati syahid dijalan-Mu".

Pada saat peperangan berkecamuk, Amru bin Jamuh melaju ke garis depan dengan anaknya yang bernama Khollad, mereka berdua bertempur layaknya singa yang lagi terluka, dengan gagah berani menghadang musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak, tidak lama setelah itu Amru bin Jamuh dan anaknya gugur di medan laga. Setelah perang usai, Rasulullah mengumpul para syuhada' dan menguburkan mereka. Beliau bersabda "Kuburkan mereka bersama darah dan luka-luka mereka, saya yang akan menjadi saksi atas mereka nanti di hari kiamat."

"Siapa saja dari kalangan orang-orang Muslim terluka di jalan Allah subhanu wata'ala, maka nanti dihari kiamat dia akan datang dengan lukanya tersebut yang masih mengalirkan darah, warna darahnya seperti za'faron dan baunya seperti minyak misik." Kemudian beliau melanjutkan sabdanya
"Semayamkan Amru bin Jamuh satu liang dengan sahabatnya Abdullah bin Amru karena dulu mereka adalah dua sahabat karib selama di dunia."

Semoga Allah subhanahu wata'ala melimpahkan rahmatnya kepada Amru bin Jamuh dan seluruh para syuhada'Uhud, dan semoga Allah menerangi kuburan-kuburan mereka dengan cahaya yang terang.

Sultan Muhammad al-Fateh

“Tidaklah kami pernah melihat ataupun mendengar hal ajaib seperti ini. Muhammad al-Fateh sudah menukar darat menjadi lautan, melayarkan kapalnya di puncak gunung dan bukannya di ombak lautan. Sesungguhnya Muhammad al-Fateh dengan usahanya ini telah mengatasi Alexander The Great!”- Ahli Sejarah Byzantine

Sultan Muhamad al-Fateh dilahirkan pada 27 Rajab 835 Hijrah bersamaan 29 Mac 1432 M dan meninggal dunia pada 3 Mei 1481.
Ketika berumur 19 tahun beliau menaiki takhta menggantikan ayahnya Sultan Murad. Baginda menjadikan Adrianopel (Adana) pusat pemerintahan dan ibu kotanya bagi memudahkan cita-citanya menawan Konstantinopel. Dan ketika berusia 21 tahun Sultan Muhamad al Fateh berjaya menakluk Konstantinopel pada 29 Mei 1453 bersamaan 20 jamadil awal 857 hijrah.

Kota Konstantinopel yang kini dinamakan Istanbul (Islam keseluruhannya), terletak di sempadan antara benua Eropah dengan Asia. Ia dihubungkan oleh Selat Bosphorus. Sebelum itu Kota Konstantinopel pernah cuba ditakluk oleh bangsa Gothik, Parsi, Bulgaria dan Rusia tetapi tidak berjaya. Umat Islam berusaha menawan kota tersebut kerana percaya dengan hadis Rasulullah SAW yang mengatakan Konstantinopel akan ditawan oleh orang Islam.

Setelah lebih 800 tahun hadis itu diucapkan oleh Rasulullah SAW barulah menjadi kenyataan. Seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Abu Ayyub Al-Anshari RA gugur syahid lalu dikebumikan di sisi benteng Konstantinopel.

Sultan Muhammad al-Fateh sejak dalam buaian lagi sudah diisyaratkan bakal mencipta sejarah oleh seorang alim, Syeikh Syamsuddin Al Wali. Beliau pernah berkata kepada Sultan Murad (ayah kepada Muhammad al-Fateh):

“Wahai Sultan Murad, bukan tuanku yang akan membebaskan kota konstantinopel, tetapi anak yang dalam buaian itu,” sambil menunjuk Muhammad al-Fateh yang masih di dalam buaian.

Sejak itu Muhammad al-Fateh dilatih hidup sederhana, dididik dengan ilmu agama dan ilmu peperangan. Beliau membesar sebagai pemuda yang tampan. Bentuk badannya tegap, kuat dan tinggi. Pipinya putih kemerah-merahan dan hidungnya mancung.

Beliau mula menaiki takhta ketika umurnya 19 tahun. Di kala itu baginda sudah begitu arif dengan tipu helah musuh. Pernah Maharaja Konstantinopel mengirim guru-guru terbaik untuk mendidiknya tentang adab dan adat istiadat kehidupan raja-raja, tetapi beliau menolaknya lalu menyuruh guru-guru tersebut pulang.

Kemudian baginda membina benteng yang dinamakan Rumeli Hisarri yang bermaksud benteng orang-orang Rom. Baginda sendiri membuka baju dan serbannya, mengangkat batu dan pasir hingga ulama-ulama dan menteri-menteri terpaksa ikut serta.

Sultan Muhamad al-Fateh menukar nama Kota Konstantinopel kepada Istanbul lalu menjadikan ibu kotanya. Kemudian beliau menakluk Serbia pada tahun 1460 dan Bosnia pada tahun 1462. Seterusnya Sultan Muhamad al Fateh menakluk Italia, Hungari, dan Jerman. Ketika berada dikemuncak kegemilangannya, Sultan Muhamad al Fateh memerintah 25 buah negeri. Kemudian dia membuat persiapan menakluk Rhodesia tetapi meninggal dunia kerana diracun oleh seorang Yahudi bernama Maesto Jakopa

Sultan Muhammad Al Fateh yang dilahirkan pada 29 Mac 1432 itu telah meninggal dunia pada 3 Mei 1481 ketika berusia 49 tahun.